Setiap kita hampir atau pernah meminum obat, entah obat flu, obat sakit kepala, obat batuk dll. Tetapi apakah ada diantara kita yang benar-benar memperhatikan bagaimana cara meminum obat sesuai dengan labelnya atau mentaati cara meminum obat sesuai dengan labelnya, padahal penting sekali untuk membaca label obat sebelum meminumnya dan mentaati aturan yang ditetapkannya. Berikut ini beberapa label yang sering terdapat di dalam kemasan obat.
1. Obat Dapat Menyebabkan Rasa Ngantuk.
Biasanya peringatan ini digunakan untuk obat-obat yang menyebabkan rasa ngantuk dan memperlambat daya refleks seseorang. Contohnya obat-obat untuk batuk dan pilek ( golongan antihistamin ). Hindari pemakaian obat-obatan ini bersamaan dengan alkohol atau obat tidur karena dapat memperburuk/memperberat rasa ngantuk. Yang paling penting jangan mengendarai kendaraan bermotor atau menjalankan mesin setelah meminum obat ini.
2. Jangan Dipecah, Ditumbuk atau Dikunyah.
Biasanya peringatan ini digunakan untuk tablet atau kapsul yang dibuat khusus agar supaya zat khasiat obat dikeluarkan secara perlahan-lahan didalam perut atau usus. Obat-obat ini biasanya diminum satu atau dua kali sehari. Bila ditumbuk akan merusak daya pengeluaran zat khasiat obat secara perlahan-lahan dan jangka panjang dari obat tersebut. Jadi obat jenis ini harus ditelan utuh.
3. Jangan meminum obat ini bersama dengan susu, antasida, atau obat yang mengandung besi.
Kalsium yang terdapat dalam susu dan obat-obatan yang mengandung zat besi dapat mempengaruhi daya serap dari beberapa obat-obatan seperti Tetrasiklin ( Antibiotik ) dan Digoksin (obat jantung). Jadi kalau mau meminum susu atau tablet yang mengandung zat besi sebaiknya 2 jam sebelum atau sesudah minum obat ini.
Kalsium yang terdapat dalam susu dan obat-obatan yang mengandung zat besi dapat mempengaruhi daya serap dari beberapa obat-obatan seperti Tetrasiklin ( Antibiotik ) dan Digoksin (obat jantung). Jadi kalau mau meminum susu atau tablet yang mengandung zat besi sebaiknya 2 jam sebelum atau sesudah minum obat ini.
4. Dimakan pada waktu perut kosong, 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan.
Biasanya peringatan ini digunakan pada obat antibiotik, karena obat ini dapat diserap dengan baik dalam keadaan perut kosong. Obat ini harus dimakan secara teratur dan dalam dosis yang cukup. Dan yang terpenting obat ini harus diminum sampai habis.
Biasanya peringatan ini digunakan pada obat antibiotik, karena obat ini dapat diserap dengan baik dalam keadaan perut kosong. Obat ini harus dimakan secara teratur dan dalam dosis yang cukup. Dan yang terpenting obat ini harus diminum sampai habis.
5. Simpan ditempat yang dingin.
Sinar dan panas yang berlebihan akan merusak hampir semua obat-obatan. Karena itu lebih baik obat disimpan ditempat sejuk dan jauh dari makanan mentah, Jadi obat jangan sampai terkena matahari, bisa disimpan di kulkas tetapi jangan di bagian freezernya (tempat pembekuan/biasanya untuk membuat es batu).Karena pembekuan dapat merusak obat-obatan.
Sinar dan panas yang berlebihan akan merusak hampir semua obat-obatan. Karena itu lebih baik obat disimpan ditempat sejuk dan jauh dari makanan mentah, Jadi obat jangan sampai terkena matahari, bisa disimpan di kulkas tetapi jangan di bagian freezernya (tempat pembekuan/biasanya untuk membuat es batu).Karena pembekuan dapat merusak obat-obatan.
6. Buang obat setelah tanggal yang ditentukan.
Sebaiknya botol obat yang telah dibuka dan telah lewat dari tanggal yang ditentukan harus dibuang. Karena obat-obatan yang sering terpapar udara atau cahaya akan cepat rusak. Kemudian diatas jangka waktu tertentu, khasiat obat akan hilang, contohnya obat antibiotik.Untuk obat tetes mata atau tetes telinga juga beresiko terkontaminasi, karena itu sebaiknya setelah botol dibuka, pada jangka waktu tertentu harus dibuang.
Sebaiknya botol obat yang telah dibuka dan telah lewat dari tanggal yang ditentukan harus dibuang. Karena obat-obatan yang sering terpapar udara atau cahaya akan cepat rusak. Kemudian diatas jangka waktu tertentu, khasiat obat akan hilang, contohnya obat antibiotik.Untuk obat tetes mata atau tetes telinga juga beresiko terkontaminasi, karena itu sebaiknya setelah botol dibuka, pada jangka waktu tertentu harus dibuang.
GOLONGAN OBAT
Golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika dan narkotika.
Obat Bebas dan Bebas Terbatas dipasarkan tanpa resep dokter atau dikenal dengan nama OTC (Over The Counter) dimaksudkan untuk menangani penyakit-penyakit simtomatis ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat dilakukan sendiri oleh penderita. Praktik seperti ini dikenal dengan nama self medication (penanganan sendiri).
Obat Bebas
Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin, supermarket serta apotek. Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat obat diperlukan, jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakainnya tidak memerlukan pengawasan tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Oleh karena itu, sebaiknya golongan obat ini tetap dibeli bersama kemasannya.
Di Indonesia, obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Yang termasuk golongan obat ini yaitu obat analgetik/pain killer (parasetamol), vitamin dan mineral. Ada juga obat-obat herbal tidak masuk dalam golongan ini, namun dikelompokkan sendiri dalam obat tradisional (TR).
Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) sentimeter, lebar 2 (dua) sentimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut:
Seharusnya obat jenis ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin (dipegang seorang asisten apoteker) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi jika ada apoteker), karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli obat bebas terbatas.
Contoh obat golongan ini adalah: pain relief, obat batuk, obat pilek dan krim antiseptik.
Obat Keras
Golongan obat yang hanya boleh diberikan atas resep dokter, dokter gigi, dan dokter hewan ditandai dengan tanda lingkaran merah dan terdapat huruf K di dalamnya. Yang termasuk golongan ini adalah beberapa obat generik dan Obat Wajib Apotek (OWA). Juga termasuk didalamnya narkotika dan psikotropika tergolong obat keras.
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Contoh : Diazepam, Phenobarbital
Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.
Contoh : Morfin, Petidin
Note:
- Obat bebas dan obat bebas terbatas, termasuk obat daftar W (Warschuwing) atau OTC (over the counter).
- Pada obat bebas terbatas terdapat salah satu tanda peringatan nomor 1- 6.
- Obat keras nama lain yaitu obat daftar G (Gevarlijk), bisa diperoleh hanya dengan resep dokter.
- OWA (obat wajib apoteker) yaitu obat keras yang dapat diberikan oleh apoteker pengelola apotek (APA), hanya bisa didapatkan di apotek.
OBAT WAJIB APOTEK (OWA)
Selain memproduksi obat generik, untuk memenuhi keterjangkauan pelayanan kesehatan khususnya akses obat pemerintah mengeluarkan kebijakan OWA.
OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada persayaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA.
- Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien (nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
- Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan kepada pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang termasuk OWA, dan hanya boleh diberikan 1 tube.
- Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi, kontra-indikasi, cara pemakaian, cara penyimpanan dan efek samping obat yang mungkin timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut timbul.
Jenis OWA
Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masyarakat, maka obat-obat yang digolongkan dalam OWA adalah obat ang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang diderita pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat alergi kulit (salep hidrokotison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), antialergi sistemik (CTM), obat KB hormonal.
Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan:
- Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
- Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.
- Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
- Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
- Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
Tabel. Contoh OWA
Obat | Indikasi | Jumlah yang boleh diberikan |
Asam mefenamat | Antiinflamasi dan anlagesik | 10 tablet |
Salep hidrokortison | Antialergi topikal | 1 tube |
Obat KB | antifertilitas | 1 siklus (28 hari) |
Obat Generik versus Obat Paten
Obat generik adalah obat yang mengandung zat aktif sesuai nama generiknya, contoh parasetamol generik berarti obat yang dibuat dengan kandungan zat aktif parasetamol, dipasarkan dengan nama parasetamol, bukan nama merek seperti Panadol (Glaxo), Pamol (Interbat), Sanmol (Sanbe). Atau obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.
Obat paten adalah obat dengan nama dagang dan menggunakan nama yang merupakan milik produsen obat yang bersangkutan. Misal: Lipitor (Pfizer), produk innovator/originator yaitu merek dagang untuk Atorvastatin.
Produsen obat dalam negeri lebih banyak mengeluarkan obat me-too, alias versi generik dari obat yang telah habis masa patennya yang lalu diberi merek dagang. Kalangan perusahaan farmasi di Indonesia — sekali lagi, yang lokal — cenderung memposisikan produk semacam ini sebagai “obat paten” (mungkin karena mereknya didaftarkan di kantor paten), walau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “branded generic”, alias obat generik bermerek itu tadi.
Obat generik ditargetkan sebagai program pemerintah untuk meningkatkan keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas khususnya dalam hal daya beli obat. Oleh karena pemasaran obat generik tidak memerlukan biaya promosi (iklan, seminar, perlombaan, dll) maka harga dapat ditekan sehingga produsen (pabrik obat) tetap mendapat keuntungan, begitu pula konsumen mampu membeli dengan harga terjangkau.
Pada awal kebijakan ini diluncurkan (awal tahun 1990-an), pemerintah mencanangkan penggunaan obat generik (OG), artinya pabrik pembuat obat tidak boleh mencantumkan logo pabrik, namun tetap mencantumkan nama pabriknya. Seiring berjalannya waktu, desakan datang dari produsen obat menginginkan adanya logo pada obat buatannya. Maka muncullah Obat Generik Berlogo (OGB). Pemerintah merasa perlu meluluskan permintaan industri ini asal harga OGB tetap dikontrol oleh pemerintah (khususnya Depkes). Oleh karena itu, sekarang dapat kita jumpai parasetamol produk generik dengan logo yang berbeda-beda, contoh: Kimia Farma, Indo Farma, Dexa Medica, Hexpharm, dll.
Mengapa OGB bisa murah?
Banyak orang meragukan khsiat OGB karena harganya jauh dari obat branded (bermerek). Bisa jadi harganya hanya ¼-nya. Beberapa obat bahkan bisa jadi harganya 1/10 dari branded-nya. Lihat perbandingan harga pada tabel berikut.
Jenis Obat | Merek | Harga (per 100 tablet) | Keterangan |
Amoxycillin tablet 500mg | Generik (Indofarma) Amoxil (originator) Amoxsan (Sanbe) Kalmoxillin (Kalbe) Dexymox (Dexa) Pehamoxil Forte (Phapros) | Rp 40.340 Rp 313.390 Rp 240.000 Rp 275.000 Rp 225.000 Rp 180.000 | Produk Sanbe tergolong murah di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain, tetapi lebih dari empat kali lipat harga OGB dan hampir 80% harga produk originator. |
Cefadroxil tablet 500mg | Generik (Hexpharm) Duricef (originator) Cefat (Sanbe) Longcef (Dankos) Dexacef (Ferron) Docef (Kimia Farma) | Rp 198.000 Rp1.329.870 Rp 670.000 Rp 650.000 Rp 635.000 Rp 484.000 | Produk Sanbe termahal di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain, tetapi kurang dari empat kali harga OGB dan hanya sekitar 50% harga produk originator. |
Ciprofloxacin tablet 500mg | Generik (Hexpharm) Ciproxin (originator) Baquinor (Sanbe) Scanax (Tempo Scan) Quidex (Ferron) Phaproxin (Phapros) | Rp 77.000 Rp1.853.500 Rp 865.000 Rp 625.000 Rp 833.333 Rp 658.000 | Produk Sanbe termahal di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain dan harganya lebih dari 10 kali lipat harga OGB, tetapi kurang dari 50% harga produk originator. |
Wajar saja hal ini terjadi karena biaya yang dikeluarkan produsen untuk menghasilkan obat lebih dari 50% merupakan biaya non-produksi. Alokasi biaya yang paling besar adalah biaya promosi baik berupa iklan, launchingproduk, seminar di kalangan medis, dan brosur dan barang promosi lain seperti alat tulis, map, kaos, topi, dll. Kalaupun ada iklan OGB sifatnya massal dan dilakukan oleh pemerintah disebut iklan layanan masyarakat. Biaya yang dikenakan oleh media terhadap pemerintah jauh lebih kecil daripada iklan obat branded yang jumlahnya bisa mencapai miliaran. Iklan populer yaitu OGB-nya Indo Farma yang dibintangi Ida Kusuma dan Kak Seto: “Yang penting kan khasiatnya, buat apa beli merek-nya”.
Bedakah khasiat OGB dengan obat branded?
Tidak hanya masyarakat awam, banyak tenaga kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan yang terjangkau masih ragu dengan khasiat OGB. Banyak dokter dan dokter gigi yang sanksi dengan khasiat OG karena kurangnya informasi yang sampai ke mereka. Faktor lainnya adalah gencarnya para detailer/medrep dari produsen obat branded dengan memberikan “iming-iming”/gimmick menarik jika meresepkan obat dari produsen tersebut.
Pada dasarnya sebelum OGB dipasarkan harus dilakukan uji khasiat OGB pada sukarelawan sehat di RS (clinical trial fase I), minimal 6 perempuan dan 6 pria dewasa dengan kriteria inklusif yang ketat sebagai probadus. Contohnya probandus harus tidak merokok selama 3 bulan terkahir, kalau bisa yang tidak merokok, tidak mengkonsumsi daging selama seminggu terakhir, tidak mengkonsumsi obat lain 2 minggu sebelumnya.
Untuk menjadi probandus biasanya diambil dari pedusunan. Para probandus akan diberi informasi sebelumnya, keselamatan diasuransikan, dibayar dan bila sewaktu-waktu merasa tidak nyaman boleh menyatakan berhenti dari trial ini.
Tes ini harus dilakukan di RS, didukung oleh dokter penanggung jawab yang mampu mengatasi munculnya efek samping, bahkan efek racun obat, dan para peneliti adalah ahli farmakologi biasanya dokter dan apoteker/farmasis.
Sebelum uji dilakukan, proposal harus dipresentasikan di hadapan komisi etik biomedik penelitian pada manusia di fakultas kedokteran yang ditunjuk Depkes. Begitu pula institusi pemegang lisensi clinical trial ini adalah institusi yang independen dari pabrik obat. Di Indonesia setidaknya terdapat 4 lembaga yang direkomendasikan Depkes untuk uji seperti ini antara lain: Pusat Uji Khasiat Obat (PUKO) FK UI, Bagian Farmakologi dan Pusat Farmakologi Klinik FK UGM, Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM, dan Bagian Biomedisin Fakultas Farmasi UNAIR.
Pengujian clinical trial fase I ini harus menyertakan kontrol sebagai perbandingan yakni obat paten yang dinilai telah siap digunakan oleh para klinisi. Contohnya bila akan dilakukan uji ketersediaaan hayati (bioavaibilitas) OGB nifedipin produksi Kimia Farma, maka harus dilakukan uji simultan dengan melakuka desain cross-over dengan Adalat (Bayer, zat khasiat Nifedipin). Contoh : (Baca Uji Klinis Tensigard, the first phytopharmaca in Hypertension).
Setelah dillakukan sampling cairan biologis (darah, urin, atau air ludah) dilakukan analisis kadar obat dengan metode yang sesuai misal HPLC karena spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. Akhirnya, uji statistik dilakukan untuk mengetahui adalah perbedan yang signifikan antara OGB dengan pembanding (obat paten).
Bern melakukan uji clinical trial fase I untuk OGB, biasanya OGB yang diproduksi oleh pabrik besar memiliki khasiat yang sama dengan obat paten pembanding. Harga satu uji bervariasi dari 75-350 juta.
Berapa jumlah OGB yang dipasarkan di Indonesia?
Awal peluncuran hanya beberapa puluh saja OGB yang diproduksi, itu pun oleh prabrik milik pemerintah BUMN. Namun seiring dengan upaya memudahkan keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, maka diproduksilah lebih dari 170 item obat. Obat-obatan yang dibuat dalam bentuk OGB terutama obat yang diperlukan bagi masyarakat, mulai penyakit simtomatis, misal parasetamol, antalgin, ibuprofen, asetosal, efedrin, CTM, dekstrometorfan, gliseril guaiakolat, ergotamine cafein, antasida, papaverin hingga penyakit infeksi seperti ampisilin, amoksisilin, sefallosporin, kotrimoksasol, metrodinazol, griseofulvin, oksitetrasiklin, dan siprofloksasin.
Juga tidak ketinggalan obat penyakit degenaratif seperti nifediin, kaptopril, HCT, salbutamol, teofilin, isosorbid dinitrat (ISDN), amitriptilin, diazepam, codein, haloperidol, natrium diklofenak, asam mefenamat, INH, rifampisin, etambutol, dan streptomisin.
Bentuk obat juga bervariasi mulai dari sirup, sirup kering/dry syrup, tablet, kaplet, tablet kapul, salep. Apotek yang beroperasi mau tidak mau harus melangkapi persediaan OGB tersebut sejumlah item yang ada (sesuai aturan Depkes). Namun kadang banyak apotek yang nakal, hanya pada saat berdiri saja OGB-nya komplit, seiring berjalannya waktu kian lama makin berkurang.
Bolehkah pasien meminta OGB?
Salah satu hak pasien adalah boleh meminta obat generik saat dokter menulis resep. Petugas apotek/farmasis yang mengganti OGB dengan obat paten tanpa seizin pasien, dapat dilaporkan ke komisi etik karena melanggar hak pasien. Begitu pula sebaliknya, jika dokter menuliskan resep berupa obat paten, sementara pasien memiliki daya beli yang rendah dan meminta OGB sebagai gantinya di apotek, hal ini dapat dibenarkan. Intinya, OGB adalah hak pasien dan tanggung jawab semua tenaga medis untuk memberikannya.
Perlu diketahui, sesungguhnya banyak dokter yang tidak pernah menyatakan bahwa “obat tidak dapat diganti tanpa sepengetahuan dokter”. Tulisan seperti ini yang biasanya tercantum di bagian bawah kertas resep sebagian besar buatan pabrik obat karena biasanya pabrik obat melalui medrep-nya merayu dokter dengan mebuatkan kertas resep satu rim secara gratis tapi ada embel-embel tulisan di bawah kertas resep.
Sebenarnya, sepanjang masih ada OGB yang zat khasiatnya sama dengan obat paten, maka bisa saja diganti.
Glosarium:
Medrep : medical representatif
Simptomatis : obat yang menutup/menghilangkan gejala, misal rasa sakit/nyeri diberikan analgesik.
Degeneratif : penyakit yang sering muncul seiring bertambahnya usia dan sakit pada kemunduran fungsi tubuh, misal hipertensi, TBC, diabetes melitus
Dry syrup : sirup kering, berupa serbuk jika akan digunakan maka dilarutkan dalam air.
HPLC : High Perfomence Liquid Chromatography yaitu alat ukur dengan prinsip pemisahan campuran dengan kinerja yang sangat tinggi
Psikotropika adalah merupakan zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik bukan narkotika yang berkhasiat, psikoaktif melalui pengaruh selektif menurut susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (UU RI No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika).
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan tingkat atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU RI No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika).
Indikasi : petunjuk, tanda gejala yang dapat menjadi alasan dilakukannya suatu tindakan
Kontra indikasi : obat dengan alasan apapun untuk mencegah makin parahnya penyakit atau terjadinya penyakit baru.
Referensi:
Pupitasari, I, 2006, Cerdas Mengenali Penyakit dan Obat, Penerbit B-First, Yogyakarta.
Permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993
Sarnianto, P., 2007, Strategi Sanbe menekuk pasar ethical, SWA MAJALAH, 28 Juni 2007
UU RI No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
UU RI No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Depkes RI, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta.
(Sumber: moko31.wordpress.com)
0 comments:
Post a Comment